Sekali
lagi ini bukan kisah khayalan, ketika seorang guru SMU yang mau
mengajar di SMU Carl Hayden, sebuah sekolah yang rata-rata diisi oleh
anak-anak dengan tingkat kenakalan remaja tinggi ini ternyata mampu
mengalahkan Tim robot Universitas terkenal di Amerika (MIT) dalam kontes
robot marine di tahun 2004. Kisah ini akhirnya di dokumentasikan dalam
sebuah film garapan Motion Picture dengan Judul “Spare Parts”.
Kekurangan Bukan Kelemahan
Siapa sangka sekolah SMU swasta yang berada di pinggiran kota Phonix,
Arizona USA dimana muridnya berjumlah 2000-an ternyata didalamnya
terdapat mutiara yang terpendam. Para siswa di sekolah ini kebanyakan
adalah pelarian atau imigran gelap Mexico yang berjuang mengadu nasib di
bumi Amerika, sebagian siswanya bahkan tidak memiliki akte kelahiran
Amerika sehingga sulit untuk melanjutkan kuliah dan bekerja sebagai
pegawai pemerintahan Amerika. Kalau tidak menjadi anggota geng kriminal
maka mereka akan menjadi para pecandu dan korban kenakalan remaja
lainnya. Sehingga wajar sekolah yang didirikan tahun 1957 dan dinamakan
Carl Hayden (diambil dari nama Gubernur yang mewakili negara bagian
Arizona selama 57 tahun) dikenal sebagai sekolah SMU buangan.
Tetapi filosofi emas harus ditemukan dibawah tanah adalah cocok
dialamatkan pada sekolah Carl Hayden ini, walau dengan fasilitas
terbatas dan jumlah guru yang minim ternyata masih ada anak-anak yang
berpotensi untuk di asah kemampuannya menjadi mutiara dimasa depan,
buktinya 4 orang anak bernama Cristian Arcega, Lorenzo Santillan, Luis
Aranda, and Oscar Vasquez mampu membuktikan bahwa keterbatasan sekolah
tidak bisa membelenggu kreativitas mereka, intinya jangan putus asa dari
sebuah kekurangan.
Sang Motivator
Mimpi memang kadang tidak bisa dibeli, butuh sebuah pemicu dititik
ini dan disinilah peran seorang guru yang harus mampu menjadi sang
motivator, tidak mengeluh karena kekurangan, tidak rewel karena
keterbatasan. Disinilah peran seorang guru magang (baca-Honorer) luar
biasa bernama Fredi Cameron, seorang teknisi lulusan sarjana Teknik
Mesin yang memilih menjadi guru SMU ketimbang bekerja profesional di
dunia teknik. Walau dengan gaji bayaran yang rendah karena masih
berstatus magang Cameron membangun mimpi siswanya bahwa sekolah tersebut
bisa bersaing dengan sekolah SMU lainnya di belahan bumi Amerika.
Sebuah mimpi yang saat itu dikatakan hal yang mustahil dikarenakan
rata-rata para orang tua siswa adalah imigran keturunan Hispanic a.k.a.
latino (keturunan orang Spanyol atau Latin) dan sering para walimurid di deportasi kembali ke Mexico.
Fredi Cameron memulai proyek ini dari sebuah lomba robotic yang
ditempel di pamflet sekolah, ia bersama seorang murid bernama Oscar
Vazquez (juga imigran gelap) mengumpulkan tim yang mempunyai minat yang
sama. Kemudian bergabunglah Lorenzo Santillan seorang anak seorang
montir mobil yang mempunyai hoby mengutak-ngatik mesin, lalu Cristian
Arcega seorang siswa yang sering menjadi korban bullying kakak kelasnya,
dia sangat paham akan kode-kode komputer (coding) sesuatu hobby yang
tidak dipelajari bagi anak-anak SMA, dan terakhir Luis Aranda siswa
bertubuh gempal dan besar, ia terlihat mempunyai bakat “autis” tetapi
sebetulnya Luis memiliki kemauan belajar sangat tinggi. Mereka berempat
bermimpi ingin memajukan nama sekolah dan membangun mimpi menjadi orang
yang berguna dimasa depannya. Dengan sabar sang guru (Fredi Cameron)
memandu mereka untuk membuat sebuah mesin robotik agar bisa menyelam dan
mengambil barang di kapal yang karam di bawah laut. Dengan dana sekitar
800 dolar sumbangan dari warga sekitar serta alat seadanya bahkan
sederhana mereka (Tim SMA buangan ini) nekad membangun mimpi
dan melawan Tim elit universitas. Dan sungguh hasil robot ciptaan mereka
ternyata berhasil memenangkan kompetisi setelah mengalahkan juara
bertahan dari kampus Massachusetts Institute of Technology atau MIT
(sekelas ITB atau ITS kalau di Indonesia).
Tidak Menyerah
Kemenangan ini memang bukan kisah klise ala film-film Hollywood,
kemenangan ini harus dimaknai bahwa sesuatu pekerjaan yang dimulai
dengan serius akan menuai keberhasilan diakhirnya, bagaimana mungkin
seorang guru honor dengan gaji sangat rendah mau meluangkan waktu dan
“bungkam” atas kekurangan sekolahnya, bahkan ia rela mengeluarkan
segenap kemampuan intelektualnya tanpa rasa pamrih demi kemajuan
sekolah. Dan pertanyaan bagaimana mungkin sekumpulan siswa-siswa buangan
ini, mau melawan takdirnya sebagai siswa dilingkaran “zero” dan menjadi
“hero” dimata kawan-kawannya, hal ini adalah sesuatu yang menarik.
Sesuatu hal yang sulit dilukiskan dalam kata-kata. Hal yang kadang
sangat bertolak belakang dengan fakta di negri ini. Dimana mengajar
dianggap sebuah ritual kegiatan ekonomi jasa semata. Guru dinegri ini
kadang cukup membaca materi harian kurikulum sekolah (baca buku
pelajaran yang juga dibaca siswa) dan lalu pulang kembali kerumah.
Jangankan untuk membangun proyek kecil sekolah, untuk membaca buku
ilmiah sebagai penunjang pembelajaran saja masih jauh panggang dari api.
Di negeri ini kadang siswa hanya dianggap pengganggu ketenangan guru
dikelas. Jangankan melihat potensi tujuh kecerdasan siswa ala Bobby de
Potter, untuk menanyakan hal sepele seperti cita-cita siswa saja guru di
negri ini masih alpa. Paradigma guru mengajar lalu dibayar masih
menjadi S-O-P yang tak terbantahkan. Guru kadang lebih nafsu melihat
gelimpangan uang dari pada ikut terlibat proyek bernama membangun
manusia (baca-siswa). Ya sesuatu hal yang berbeda seperti yang dilakukan
seorang guru bernama Fredi Cameron bersama keempat siswanya. Kalau
Fredi Cameron saja bisa mengalahkan tim kampus seelit MIT dengan
keterbatasan lalu bagaimana dengan kita?
Anda ingin mencontoh semangat seperti Fredi Cameron ?
sumber : bang fajar
sumber : bang fajar
No comments:
Post a Comment