Laman

RAJIN PANGKAL PANDAI

We know about it and we do it now :)

February 05, 2016

Guru itu ya...


spare 
Sekali lagi ini bukan kisah khayalan, ketika seorang guru SMU yang mau mengajar di SMU Carl Hayden, sebuah sekolah yang rata-rata diisi oleh anak-anak dengan tingkat kenakalan remaja tinggi ini ternyata mampu mengalahkan Tim robot Universitas terkenal di Amerika (MIT) dalam kontes robot marine di tahun 2004. Kisah ini akhirnya di dokumentasikan dalam sebuah film garapan Motion Picture dengan Judul “Spare Parts”.

Kekurangan Bukan Kelemahan
Siapa sangka sekolah SMU swasta yang berada di pinggiran kota Phonix, Arizona USA dimana muridnya berjumlah 2000-an ternyata didalamnya terdapat mutiara yang terpendam. Para siswa di sekolah ini kebanyakan adalah pelarian atau imigran gelap Mexico yang berjuang mengadu nasib di bumi Amerika,  sebagian siswanya bahkan tidak memiliki akte kelahiran Amerika sehingga sulit untuk melanjutkan kuliah dan bekerja sebagai pegawai pemerintahan Amerika. Kalau tidak menjadi anggota geng kriminal maka mereka akan menjadi para pecandu dan korban kenakalan remaja lainnya. Sehingga wajar sekolah yang didirikan tahun 1957 dan dinamakan Carl Hayden (diambil dari nama Gubernur yang mewakili negara bagian Arizona selama 57 tahun) dikenal sebagai sekolah SMU buangan.
Tetapi filosofi emas harus ditemukan dibawah tanah adalah cocok dialamatkan pada sekolah Carl Hayden ini, walau dengan fasilitas terbatas dan jumlah guru yang minim ternyata masih ada anak-anak yang berpotensi untuk di asah kemampuannya menjadi mutiara dimasa depan,  buktinya 4 orang anak bernama Cristian Arcega, Lorenzo Santillan, Luis Aranda, and Oscar Vasquez mampu membuktikan bahwa keterbatasan sekolah tidak bisa membelenggu kreativitas mereka, intinya jangan putus asa dari sebuah kekurangan.

Sang Motivator
Mimpi memang kadang tidak bisa dibeli, butuh sebuah pemicu dititik ini dan disinilah peran seorang guru yang harus mampu menjadi sang motivator, tidak mengeluh karena kekurangan, tidak rewel karena keterbatasan. Disinilah peran seorang guru magang (baca-Honorer) luar biasa bernama Fredi Cameron, seorang teknisi lulusan sarjana Teknik Mesin yang memilih menjadi guru SMU ketimbang bekerja profesional di dunia teknik. Walau dengan gaji bayaran yang rendah karena masih berstatus magang Cameron membangun mimpi siswanya bahwa sekolah tersebut bisa bersaing dengan sekolah SMU lainnya di belahan bumi Amerika. Sebuah mimpi yang saat itu dikatakan hal yang mustahil dikarenakan rata-rata para orang tua siswa adalah imigran keturunan Hispanic a.k.a. latino (keturunan orang Spanyol atau Latin) dan sering para walimurid di deportasi kembali ke Mexico.
Fredi Cameron memulai proyek ini dari sebuah lomba robotic yang ditempel di pamflet sekolah, ia bersama seorang murid bernama Oscar Vazquez (juga imigran gelap) mengumpulkan tim yang mempunyai minat yang sama. Kemudian bergabunglah Lorenzo Santillan seorang anak seorang montir mobil yang mempunyai hoby mengutak-ngatik mesin, lalu Cristian Arcega seorang siswa yang sering menjadi korban bullying kakak kelasnya, dia sangat paham akan kode-kode komputer (coding) sesuatu hobby yang tidak dipelajari bagi anak-anak SMA, dan terakhir Luis Aranda siswa bertubuh gempal dan besar, ia terlihat mempunyai bakat “autis” tetapi sebetulnya Luis memiliki kemauan belajar sangat tinggi. Mereka berempat bermimpi ingin memajukan nama sekolah dan membangun mimpi menjadi orang yang berguna dimasa depannya. Dengan sabar sang guru (Fredi Cameron) memandu mereka untuk membuat sebuah mesin robotik agar bisa menyelam dan mengambil barang di kapal yang karam di bawah laut. Dengan dana sekitar 800 dolar sumbangan dari warga sekitar serta alat seadanya bahkan sederhana mereka (Tim SMA buangan ini) nekad membangun mimpi dan melawan Tim elit universitas. Dan sungguh hasil robot ciptaan mereka ternyata berhasil memenangkan kompetisi setelah mengalahkan juara bertahan dari kampus Massachusetts Institute of Technology atau MIT (sekelas ITB atau ITS kalau di Indonesia).

Tidak Menyerah
Kemenangan ini memang bukan kisah klise ala film-film Hollywood, kemenangan ini harus dimaknai bahwa sesuatu pekerjaan yang dimulai dengan serius akan menuai keberhasilan diakhirnya, bagaimana mungkin seorang guru honor dengan gaji sangat rendah mau meluangkan waktu dan “bungkam” atas kekurangan sekolahnya, bahkan ia rela mengeluarkan segenap kemampuan intelektualnya tanpa rasa pamrih demi kemajuan sekolah. Dan pertanyaan bagaimana mungkin sekumpulan siswa-siswa buangan ini, mau melawan takdirnya sebagai siswa dilingkaran “zero” dan menjadi “hero” dimata kawan-kawannya,  hal ini adalah sesuatu yang menarik. Sesuatu hal yang sulit dilukiskan dalam kata-kata. Hal yang kadang sangat bertolak belakang dengan fakta di negri ini. Dimana mengajar dianggap sebuah ritual kegiatan ekonomi jasa semata. Guru dinegri ini kadang cukup membaca materi harian kurikulum sekolah (baca buku pelajaran yang juga dibaca siswa) dan lalu pulang kembali kerumah. Jangankan untuk membangun proyek kecil sekolah, untuk membaca buku ilmiah sebagai penunjang pembelajaran saja masih jauh panggang dari api. Di negeri ini kadang siswa hanya dianggap pengganggu ketenangan guru dikelas. Jangankan melihat potensi tujuh kecerdasan siswa ala Bobby de Potter, untuk menanyakan hal sepele seperti cita-cita siswa saja guru di negri ini masih alpa. Paradigma guru mengajar lalu dibayar masih menjadi S-O-P yang tak terbantahkan. Guru kadang lebih nafsu melihat gelimpangan uang dari pada ikut terlibat proyek bernama membangun manusia (baca-siswa). Ya sesuatu hal yang berbeda seperti yang dilakukan seorang guru bernama Fredi Cameron bersama keempat siswanya. Kalau Fredi Cameron saja bisa mengalahkan tim kampus seelit MIT dengan keterbatasan lalu bagaimana dengan kita?
Anda ingin mencontoh semangat seperti Fredi Cameron ?

sumber : bang fajar

No comments: